Kegiatan
rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat
dan gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Sebagaimana
termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang Pokok-pokok Kesehatan,
bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Ketentuan
tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang
berupa pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan
pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat (Siregar, 2001).
Upaya
perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara,
yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan
kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan terhadap bahaya pencemaran
lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus (Said dan Ineza, 2002).
Rumah
sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan
kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit berupa
kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan serta jiwa
(Said dan Ineza, 2002).
Kegiatan
rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat
dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit
(termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu (Giyatmi. 2003) :
- Pemrakarsa
atau penanggung jawab rumah sakit.
- Pengguna
jasa pelayanan rumah sakit.
- Para
ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.
- Para
pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang
diperlukan.
Upaya
pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat
lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan
yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit.
Di samping itu secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan
mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini
sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan
limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus disadari bahwa
pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi (Barlin, 1995).
1. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah
Rumah
sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat
darurat, pelayanan medik dan non medik yang dalam melakukan proses kegiatan
hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial, budaya dan dalam
menyelenggarakan upaya dimaksud dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan
mempunyai potensi besar terhadap lingkungan (Agustiani dkk, 1998).
Limbah
yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu
limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan
Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit
untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan rumah sakit
dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para
petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran
udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran
tersebut merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang dapat mempunyai dampak
besar terhadap manusia (Agustiani dkk, 1998).
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap
warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha
dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan penyakitpencegahan dan
penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan
kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha
peningkatan dan pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus,
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha
pencegahan dan penanggulangan pencemaran diharapkan mengalami kemajuan. Adapun
cara-cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran limbah rumah sakit antara
lain adalah melalui (Karmana dkk, 2003) :
- Proses
pengelolaan limbah padat rumah sakit.
- Proses
mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.
Sarana
pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya berfungsi menerima
limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui
instalasi saluran pembuangan dalam gedung selanjutnya melalui instalasi saluran
pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan buangan cair. Dari
instalasi limbah, cairan yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke
perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota (Sabayang dkk, 1996). Limbah
padat yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain
sebagainya baik yang medis maupun non medis perlu dikelola sebaik-baiknya
sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit
dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah
sakit tersebut (Sabayang dkk, 1996).
2. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam
profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS
di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap
100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2
Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8
liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi
sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa
limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi
sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah
sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa
besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan
kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit
menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan
kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 -
0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).
Sementara
itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah
sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki
instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah
sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan
bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa
rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data
tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki
incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah
sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut
Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang
mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga
bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005
lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya,
limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola
dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan
limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan
nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah
nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi,
limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti
itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan
limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki
pembuangan seperti itu (Sebayang dkk, 1996).Sementara itu, Kepala Seksi
Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah
rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah
sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan
Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan
benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus memiliki IPAL, juga harus
memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat izin
pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di
incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak
semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk, 1996).
Beberapa
hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab
tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit
antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan
lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari
kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya
pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk
menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa
yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang
dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah,
mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan
teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang).
Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian
dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran
obat mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan
terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan
bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat
(Sebayang dkk, 1996).
3. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta
Lingkungan
Limbah
rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka
diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya
manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang
ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung
bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat
pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat
mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD,
COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah
mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut
kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun
berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan
rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang
memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta
penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk (Said, 1999).
Pembuangan
limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis
kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum
pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko
kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi
bagian berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :
a. Limbah Klinik
Limbah
dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit
resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi
infeksi kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu
diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut
ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang
diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
b. Limbah Patologi
Limbah
ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari
unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.
c. Limbah Bukan Klinik
Limbah
ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak
berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah
tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut
dan mambuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah
ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa,
kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun
pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun
limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit,
pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.
4. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan
Pengolahan
limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya
limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia
atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus
dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang
dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengunangi limbah pada sumbernya,
serta upaya pemanfaatan limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di
Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal baru,
yang tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih
mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999).
Berbagai
upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang
terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi
limbah (waste reduction), minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan
limbah (waste abatement), pencegahan pencemaran (waste prevention) dan reduksi
pada sumbemya (source reduction) (Hananto, 1999).
Reduksi
limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali
karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya
limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah
upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang
akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar, hal
ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta
mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah (Hananto,
1999). Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah
(Arthono, 2000) :
- House
Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah
sakit dalam menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya
ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi
dengan sebaik mungkin.
- Segregasi
aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis
komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah,
mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
- Pelaksanaan
preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian
alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
- Pengelolaan
bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan bahan
selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak
berlebihan sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan
penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
- Pengaturan
kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
- Penggunaan
teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang kurang
potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi,
sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau
penggantian sebagian unitnya.
Kebijakan
kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit
harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di
tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut (Haryanto, 2001) :
- Bangsal
harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah
klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
- Semua
limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
- Limbah
dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah
klinik.
- Semua
limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik
dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.
Beberapa
hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna
yang menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :
1.
Pemisahan limbah
- Limbah
harus dipisahkan dari sumbernya
- Semua
limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas
- Perlu
digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang
menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang.
Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti
dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal
sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli
dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna
dibangsal dan unit-unit lain
2.
Penyimpanan limbah
- Kantung-kantung
dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat
bagian atasnya dan diberi label yang jelas
- Kantung
harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
- Petugas
pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang
samatelah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
- Kantung
harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak
sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
3.
Penanganan limbah
- Kantung-kantung
dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
- Kantung
dipegang pada lehernya
- Petugas
harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan
yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong
tersebut
- Jika
terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih
untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double
bagging)
- Petugas
diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat
mencederainya di dalma kantung yang salah
- Tidak
ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah
4.
Pengangkutan limbah
Kantung
limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah
bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa
ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama
dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah
tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya
bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan
klorin.
5.
Pembuangan limbah
Setelah
dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi),
jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur
sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
Kemudian
mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana dibanding dengan
limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan
ruangan dan bangunan khususnya dalam memelihara kualitas udara ruangan (indoor)
yang antara lain disyaratkan agar (Agustiani dkk, 2000) :
- Tidak
berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);
- Kadar
debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24 jam.
- Angka
kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman
padao gen (khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas
gangrer. Ruang perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan
bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan berbahaya dalam udara tidak
melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.
Rumah
sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator
berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau
lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan
untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh
penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal
dari rumah sakitlain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa
keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan
klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Rostiyanti
dan Sulaiman, 2001).
Jika
fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur
dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut
(Djoko, 2001) :
- Menggali
lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
- Tebarkan
limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
- Tambahkan
lapisan kapur.
- Lapisan
limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai
ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
- Akhirnya
lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.
5. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis
Limbah
cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak mengandung bakteri,
virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan
masyarakat sekitar rumah sakittersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di
rumah sakit, limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan
kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya
dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan
inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum
"dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya,
ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah
bahan ini digunakan. limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).
6. Teknologi Pengolahan Limbah
Teknologi
pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara
masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki
nilai negatif besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air
dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa
rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke
sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat
medis (Suparmin dkk, 2002).
Sedangkan
insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan
berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik
insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian
terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya kanker
pada tubuh (Suparmin dkk, 2002). Yang sangat menarik dari permasalahan ini
adalah ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah
satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan United
States Environmental Protection Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini
sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola limbah pabrik tekstil, cat,
kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).
1.7.1. Ozonisasi
Proses
ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi
atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari
Prancis sebagai metode sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan
proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang
dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan
ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).
Dewasa
ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan
makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan
kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat
ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan senyawa
disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat
dengan mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona discharge
(Berlanga, 1998). Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai
macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis,
Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998).
Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel
mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi
oleh radikal bebas seperti hydrogen peroxy (HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang
terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan perkembangan teknologi,
dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik
dan industri (Akers, 1993).
1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit
Limbah
cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet,
dan lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke
tangki reaktor untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki
reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada
limbah cair (Harper, 1986).
Limbah
cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi untuk
dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada
proses ini, polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi
dalam tangki reaktor dapat diendapkan (Harper, 1986).
Selanjutnya
dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi
proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada
proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif.
Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi
menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif
harus diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci.
Air yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan
aman ke sungai (Harper, 1986).
Ozon akan
larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal
bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh
melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan
oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol, pestisida,
atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh
hidroksil radikalakan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk
kemudian teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik
asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di
sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan didapatkan
karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal berkekuatan untuk
mengoksidasi senyawa organik juga dapat dipergunakan dalam proses sterilisasi
berbagai jenis mikroorganisma, menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada
limbah cair. Dengan demikian akan dapat mengoksidasi senyawa organik serta
membunuh bakteri patogen, yang banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit
(Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu
proses penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif.
Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan
berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara
dicuci (Wilson, 1986).
Dalam
aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau
hidrogen peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah
hidroksil radikal dalam air yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi
senyawa organik. Teknologi oksidasi ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa
kimia beracun yang berada dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya
sehingga limbah padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%.
Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya
dapat mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah
yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga
cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas (Wilson,
1986).
Kegiatan
rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu
berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa
pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakityang tidak baik akan
memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin pasien
ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada
masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin keselamatan
dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah
sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring
limbah rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan.
Rumah sakit sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab
pengelolaan limbah yang dihasilkan (Wilson, 1986).